Akhir-akhir ini, kita diramaikan dengan berita tawuran
antara SMAN 70 Jakarta dengan SMAN 6 Jakarta. Dimana terdapat satu siswa yang
tewas akibat dendam turun temurun tersebut. Maka public pun bertanya-tanya,
mengapa bisa para siswa sekolah dengan pendidikan yang layak berprilaku
layaknya orang yang, maaf, tidak berpendidikan. Sepertinya tidak asing lagi
bagi kita untuk mendengar kata tawuran. Hampir seluruh media massa bahkan
semuanya, sering sekali mengkaji berita tentang tawuran yang rasa-rasanya tidak
akan ada habisnya. Hal ini bagaikan fenomena dunia yang memprihatinkan. Namun,
jika tawuran bisa sampai terjadi, sebenarnya pihak siapa yang perlu disalahkan?
Orang tuakah atau pendidikan di sekolah?
Saya pernah bertanya kepada seorang laki-laki, yang dulunya
juga terlibat dalam aksi tawuran di sekolahnya. Saya bertanya mengenai apa
sebenarnya tujuan ia melakukan atau ikut-ikutan aksi tawuran antar-sekolah
tersebut. Dalam percakapan itu, saya
bisa mengambil beberapa kesimpulan factor-faktor penyebab tawuran itu terjadi.
Ada beberapa faktor
penyebab tawuran bisa terjadi, diantaranya :
1.
Faktor pribadi
Seorang remaja sekolah yang sedang duduk di bangku SMA,
memang sedang masa-masanya mencari jati diri. Mereka juga dituntut untuk
menyesuaikan diri di lingkungannya. Di lain pihak, mereka juga membutuhkan
pengakuan dari lingkungan sekitarnya dengan cara mengembangkan identitas diri
secara positif. Namun, jika tidak berhasil mengembangkan diri kecemasan diri.
Pelampiasan dari hal tersebut adalah melalui kekerasan dan kenakalan remaja.
Rasa ingin diakui, membuat identitas diri yang negative
terlihat ‘keren’ di mata para remaja.
2.
Faktor lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama
bagi anak. Maka orang tua dituntut untuk selalu memberikan contoh yang baik
untuk anak. Rasa kasih saying dan perhatian yang cukup terhadap anak, akan
membentuk pribadi seorang anak yang baik. Namun sebaliknya, anak yang kurang
akan kasih sayang orang tuanya, akan merasa kesepian dan melampiaskan dengan
hal-hal yang negative.
Oleh karena itu, orang tua dituntut untuk selalu
mengawasi dan mengarahkan perkembangan sang anak. Agar kelak tidak terjadi
hal-hal negative yang tidak diinginkan.
3.
Faktor lingkungan teman sepermainan
Ada pepatah mengatakan “Jika kamu bergaul dengan seorang
penjual parfum, maka kamu akan tertular wanginya”. Maksudnya adalah, dengan
siapa kita bergaul,maka seperti itulah kita. Teman sebaya atau teman
sepermainan sedikit banyak mempengaruhi pola pikir, aktivitas, dan identitas
diri seseorang. Pengaruh kelompok sepermainan sangat besar. Seseorang bahkan
rela mengikuti aturan yang berlaku di kelompok agar bisa diakui oleh
sekitarnya. Popularitas dan banyaknya teman meningkatkan rasa bangga dalam diri
seseorang. Mereka dituntut untuk meyesuaikan diri dengan apapun yang ada di
dalam kelompok sebaya mereka.
4.
Faktor lingkungan sekolah
Kondisi sekolah yang tidak menguntungkan proses
pendidikan si anak, keadaan guru dan system pengajaran yang tidak menarik
membuat anak bosan. Kesenjangan social-ekonomi yang terjadi anatara siswa
dengan siswa atau siswa dengan guru. Kurangnya sarana dan prasarana pada
sekolah yang tidak menunjang para siswa untuk bersaing secara sehat dan
meningkatkan kreatifitasnya. Acuh tak acuhnya pihak sekolah terhadap anak didik
dan kurang disiplinnya tata tertib yang dibuat. Semua itu membuat siswa mencari
perhatian keluar sekolah untuk mencari kegiatan lain yang tidak membosankan.
5.
Faktor “turun-temurun”
Dendam turun-temurun antar-sekolah, biasanya menjadi
factor yang berpengaruh besar akan terjadinya tawuran. Letak sekolah yang
berdekatan,membuat mereka bersaing secara tidak sehat dengan kekerasan.
Cara mengatasi dan mengurangi tawuran antar-pelajar
Ada beberapa cara yang sebenarnya bisa dilakukan untuk
mengurangi tawuran antar-pelajar. Namun diperlukan kesadaran diri dari
masing-masing pihak yang terkait.
a. Orang
tua mengajarkan pada anak bahwa kekerasan bukanlah jalan keluar dari segala
permasalahan. Terapan itu sebaiknya dimulai saat anak kecil,disaat otaknya
menerima segala sesuatu yang terjadi pada si anak.
b. Pihak
sekolah mengalihkan perhatian anak ke hal-hal positif. Dengan mewajibkan ekskul
misalnya, akan membuat anak banyak melakukan kegiatan positif dan tidak ada
waktu untuk melakukan tawuran atau kenakalan remaja lainnya.
c. Bergaul
dengan teman yang bisa membawamu ke arah perubahan yang positif.
d. Menanamkan
dalam diri rasa percaya diri.
e. Berikan
sanksi untuk setiap tindakan kekerasan yang terjadi,agar anak disiplin.
f.
Ajarkan ilmu social budaya agar tidak salah
menempatkan diri pada lingkungan sekitar.
g. Meningkatkan
pergaulan dengan orang-orang yang kreatif,agar cara berpikir kitapun ikut
kreatif.
h. Komunikasi
dan pendekatan kepada anak.
i.
Pengajaran ilmu bela diri yang mempunyai prinsip
penggunaan untuk menyelamatkan orang,bukan menyakiti orang lain.
j.
Tingkatkan jiwa social antar sesama manusia,
agar bisa lebih menghargai adanya manusia adalah untuk saling tolong menolong.
k. Perbanyak
kegiatan yang positif.
l.
Jika tidak suka belajar seserius di sekolah,
temukan bakat anak dan kembangkan. Hal itu akan meningkatkan kepercayaan diri
sang anak.
Segala cara bisa dilakukan untuk
mengurangi tawuran yang sering terjadi, namun segala pihak yang terkait harus
serius dalam menanganinya. Tidak asal hanya teori. Semua kembali kepada
masing-masing individu.
Sekian tulisan saya. Semoga
bermanfaat :)
No comments:
Post a Comment