Benua Afrika terkenal dengan kehidupan suku bangsanya yang masih primitif. Sifat primitif itu terlihatmulai dari cara mereka berpakaian, tingkah laku sosial, kebutuhan sarana fisik sampai kebudayaan mereka.
Nah dalam kesempatan kali ini saya akan men-sharing fakta tentang kebudayaan pernikahan yang terbilang unik dari berbagai suku primitif Afrika. Apanya yang unik?
Semuanya…mulai dari proses memilih calon pasangan, proses negoisasi dan sampai proses pernikahan. Bahkan dikatakan ada kalanya dalam proses pernikahan tersebut sering menelan korban jiwa pada sang mempelai, khususnya calon mempelai pria.
Berikut 3 contoh kebudayaan pernikahan yang unik di Afrika:
1. Tradisi Sharo
Tradisi Sharo dipraktekkan di negara-negaraAfrika seperti Mali, Nigeria dan Kamerun. Tradisi ini dipraktekkan dengan cara dimana para pria harus mengalahkan para penantangnya jika ingin mengambil istri. Ini betujuan untuk menunjukkan kejantanan dan kepantasan seorang pria meminang calon istri.
Para pria tersebut dipukuli oleh para penantang dan mereka harus menahan rasa sakit yang dialami. Jika mereka berhasil menahan rasa sakit dari pukulan-pukulan tersebut maka para pria tersebut akan dinyatakan sebagai pria sejati dan berhak mengambil calon istrinya. Tapi jika gagal, mereka tidak diperbolehkan untuk
mengambil para gadis sebagai istri. Bukan hanya tidak dapat mengambil calon istri, para pria yang gagal pun harus menanggung rasa malu yang teramat berat dan seringkali mereka yang gagal juga kehilangan nyawanya akibat luka-luka yang terlampau berat.
Wah ironis sekali ya. Kalau seperti itu, memang benar yang dikatakan orang kalau “cinta itu butuh pengorbanan”!
2. Culik dan Nikahi
Dalam bahasa Inggris – Kidnap and Marry -, merupakan tradisi pernikahan di kalangan Latwoka, sebuah suku di negara Sudan (Afrika). Tradisi ini terbilang brutal, aneh bahkan saya katakan “wong edan! enggak tahu sopan santun!”
Mengapa saya katakan seperti itu? Di tradisi ini jika seorang pria ingin menikahi seorang gadis, si pria hanya tinggal menculik sang gadis dan baru kemudian si pria dan keluarganya baru meminta persetujuan kepada keluarga sang gadis.
Tidak peduli sebelumnya, antara si pria dan si gadis incarannya sudah terjalin hubungan atau belum, bahkan apakah si gadis sudah pernah mengenal si pria atau belum itu tidak menjadi halangan untuk meminang sang gadis.
Setelah sang gadis diculik, barulah keluarga si pria yang “kurang ajar” ini datang menemui ayah dari sang gadis untuk meminta persetujuannya.
Jadi hai para gadis di belahan dunia manapun, berterima kasihlah kepada Tuhan karena kalian tidak dilahirkan di Latwoka dimana penculikan untuk dinikahi diperbolehkan.
3. Tradisi Lobola
Tradisi yang berhubungan dengan budaya pernikahan adat Lobola ini pada dasarnya menjadikan para gadis layaknya sebagai objek jual-beli. Mengapa begitu? Tradisi ini melibatkan negosiasi harga yang akan dibayar laki-laki untuk menikahi seorang gadis.
Disamping itu, proses tradisi Lobola berkesan rumit karena harus melalui protokol (tata aturan) tertentu yang harus ditaati oleh kedua belah pihak. Tata aturan yang dimaksud adalah seperti dilakukannya pertukaran pasangan.Yang dalam pertukaran tersebut, tidak diperbolehkan adanya pasangan yang sudah saling mengenal sebelumnya.
Jadi dapat dikatakan, calon mempelai pria dan wanita dijodohkan sepenuhnya oleh tata aturan adat, yang satu sama lain tidak saling mengenal pada tingkat keseriusan da kesucian suatu pernikahan. Dan juga dapat dikatakan tidak adanya dasar cinta satu sama lain dalam tradisi yang harus dipatuhi oleh semuanya ini. Apabila keluarga dari pengantin
tidak setuju dengan tradisi ini maka mereka akan dihukum. Sungguh mengenakan.
SUMBER : http://gundargerm.wordpress.com/2011/02/09/budaya-pernikahan-unik/
Meski hanya bercelana panjang putih dengan kain oranye sederhana, plus tongkat pendek, ia adalah seorang raja. Pemimpin masyarakat yang diagungi karena mengemban tugas menjaga berlangsungnya keseimbangan alam. Ia adalah raja dari Afrika Selatan.
Ia Vincent Sekwati Koko Mantsoe. Tubuhnya hitam dan berotot. Tatapannya tajam dan gerak langkahnya pasti. Ia berputar sekali, dua kali, lalu terdiam. Lalu mulai bergerak, gemulai, dan sedetik kemudian berubah cepat. Temponya masih beraturan dan olah tubuhnya tetap bisa dinikmati.
Mantsoe tengah menjadi raja dalam pertunjukan tunggalnya yang bertajuk Barena (Chiefs). Komposisi tari karya koreografer Afrika Selatan itu sekaligus menjadi nomor penutup perhelatan Indonesian Dance Festival ke-10, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Kamis malam lalu. Karya Mantsoe tersebut tampil setelah penampilan dua karya koreografer Indonesia, Jecko Siompo bertajuk Dari Beta Max Sampai DVD Berjajar Pulau-pulau dan Eko Supriyanto berjudul Home: Ungratifying Life.
Gaya menari Mantsoe sangat enerjetik. Dengan latar tari tradisional Afrika yang dinamis, membuat olah tubuhnya tak monoton. Ia merentangkan kedua kakinya membentuk kuda-kuda sejajar. Layaknya tarian Jawa, ujung jarinya pun lentik gemulai ke kiri dan ke kanan. “Entahlah, saya justru mendapat gerak seperti itu saat berada di Australia,” ujarnya seusai pentas.
Setelah itu, gerak perutnya yang patah-patah pun makin dominan. Sambil mempertontonkan otot lengannya, ia membentangkan badan. Hingga napas yang terengah-engah membuat dadanya naik-turun cepat.
Tongkat yang selalu digenggamnya juga mampu menjadi beberapa medium berbeda. Selain sebagai lambang keagungan sang raja, tongkat itu mampu jadi tombak dan bahkan bisa berfungsi jadi cangkul. Kala menjadi tombak, Mantsoe memperlihatkan gerakan cepat dan tendangan ke udara. “Terlihat seperti Capuera ya, padahal saya belajar Thai Chi loh,” katanya. Dan ketika berubah jadi cangkul, sang raja pun seolah bermutasi menjadi masyarakat petani.
Barena berkisah tentang kehidupan seorang raja dengan masyarakat yang dipimpinnya. Raja duduk di singgasana dan doing nothing. “Raja cuma bisa say hello and good bye,” ujar Mantsoe.
Adapun rakyatnya banting tulang untuk memakmurkan kerajaan. Lalu sang raja sadar, betapa ia terlalu jauh dari rakyatnya. “Meski jadi raja, ia pun manusia biasa. Sang raja ingin menari dan bercengkrama dengan mereka,” katanya. Inilah dua sisi humanis yang bisa dialami oleh siapa saja.
Nomor tari berdurasi 25 menit ini sarat pesan moral. Meski dipentaskan dengan latar panggung yang sederhana, hanya bentangan gambar akar pohon yang dibidik dari film proyektor, Mantsoe mampu memberika tontonan segar di antara ragam tari kontemporer saat ini. Kisah ini pun berbanding lurus dengan latar kehidupan Mantsoe kecil yang tumbuh di tengah semaraknya Apartheid di kampungnya, Soweto, Afrika Selatan.
Nomor yang satu ini bukanlah barang baru dalam daftar karya sang maestro tari Afrika Selatan. Barena pernah dipentaskan di beberapa negara sejak 2002 lalu. Padatnya jadwal manggung Mantsoe membuat dirinya tak memiliki waktu untuk mempersembahkan karya baru bagi pergelaran yang baru pertama kali diikutinya ini. “Saya sudah mendengar gaung IDF sejak dulu, dan sering juga diundang. Namun selalu tak bisa karena memang jadwalnya tak pernah pas,” ujarya.
Mantsoe menempuh jalan panjang dalam menapaki karirnya. Setelah bertahun-tahun ia hanya menari di sanggar anak muda Joy Dancers dan berlatih tari jalanan, ia kemudian berjodoh dengan kelompok tari di Johhanesburg, Moving Into Dance Mophatong (MIDM). Atas bimbingan Sylvia Glasser, ia mempelajari teknik tari Afrika Selatan dan Australia. Jadilah rumus versi Mantsoe, kolaborasi gerakan African-Kontemporer-Asia.
Debut Mantsoe dimulai pada 1992. Ia menciptakan berberapa karya, antara lain, Speaking with Tongues, Gula Matari, Tlotlo, Naka, dan Men-Jaro. Sebuah kehormatan tak terlupakan saat ia tampil mementaskan karya tunggalnya pada inagurasi presiden Nelson Rolithlahtla Mandela (1994), dan di depan Queen Beatrix dari Belanda.
Pada pertengahan 1990, Mantsoe meraih posisi kehormatan “International Choreographic Commissions” untuk karya Sasanka pada Harlem Dance Theatre di Amerika Serikat, Bodika di COBA Kanada, Majara pada Skanes Danse Theatre di Swedia, dan Letlalo pada Ace di Inggris.
sumber : http://julliefille.student.umm.ac.id/2010/07/28/kebudayaan-tarian-afrika/
Berbahagialah kita yang beruntung tidak dilahirkan dalam kondisi kebudayaan seperti itu. Mungkin dulu ada di negara Indonesia bentuk seperti kisah “Siti Nurbaya”, tetapi itu dulu, dimana cinta antara 2 insan tidak dianggap keberadaannya.
Kesimpulan : Nampaknya budaya Afrika ada sebagian yang masih menganut adat-adat tertentu,sama halnya di negara kita. Tetapi,mungkin seiring dengan perkembangan jaman budaya tersebut tidak banyak,atau dibilang jarang yang mengikutinya.
No comments:
Post a Comment